Manggarai, AntarNews.com- Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) berencana melaporkan majelis hakim yang menangani perkara pembunuhan almarhumah Irnakulata Murni ke Bagian Pengawasan Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Laporan tersebut akan diajukan karena majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) yang diketuai Irwan Hamid dinilai tidak profesional dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Dalam putusan yang dibacakan pada Rabu (15/10/2025), pelaku Fakhry Firmasyah hanya dijatuhi hukuman dua tahun penjara, meskipun terbukti menyebabkan kematian korban.
Putusan ini langsung menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Famara yang menilai majelis hakim telah mengabaikan rasa keadilan bagi keluarga korban.
Sekretaris Jenderal Famara Jakarta, Dr. Edi Hardum, menyampaikan kekecewaannya terhadap putusan tersebut.
Menurutnya, vonis ringan terhadap pelaku yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang adalah bentuk pelecehan terhadap nilai kemanusiaan.
“Dengan alasan pelaku masih anak, hakim menjatuhkan vonis ringan. Hakim tidak memikirkan perasaan keluarga korban dan telah mengabaikan rasa keadilan,” tegas Edi Hardum.
Edi menilai, keputusan itu berpotensi menimbulkan preseden buruk di masa depan, seolah-olah pelaku di bawah umur bisa melakukan tindak kekerasan bahkan pembunuhan tanpa takut terhadap sanksi hukum berat.
Selain itu, Edi juga menegaskan bahwa hakim tidak profesional karena tidak mempertimbangkan aspek moral dan psikologis keluarga korban.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut pelaku tidak berniat membunuh korban, melainkan hanya bermaksud mencegah korban berteriak dengan cara mencekik lehernya.
Namun tindakan tersebut justru menyebabkan kematian korban. Edi menilai pertimbangan tersebut keliru.
“Pelaku yang mencekik leher tentu tahu bahwa leher adalah saluran pernapasan. Itu sudah menunjukkan adanya niat jahat (mens rea) untuk menghilangkan nyawa,” ujarnya.
Ia menambahkan, pelaku tidak berhak memeriksa isi ponsel korban karena korban bukan istrinya melainkan pacarnya. Karena itu, menurutnya, tidak ada alasan bagi hakim untuk memberikan pertimbangan psikologis yang meringankan pelaku.
Selain mempersoalkan putusan, Famara juga menyoroti jalannya persidangan yang dinilai tidak transparan dan diskriminatif.
“Sejak awal, kami sebagai kuasa hukum keluarga korban tidak diperkenankan mengikuti sidang, sementara keluarga pelaku diperbolehkan. Ini melanggar asas keterbukaan dan keadilan dalam hukum acara pidana,” ujar Edi yang juga pengajar hukum pidana di Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta.
Ia menilai, tindakan majelis hakim tersebut telah mencoreng prinsip transparansi peradilan.
“Kami menduga ada hal-hal lain yang perlu diungkap, dan semuanya akan kami tuangkan dalam laporan resmi ke MA dan KY,” tegasnya.
Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Donald Dwi Siswanto, SH menuntut pelaku dengan hukuman empat tahun penjara.
Famara menilai tuntutan tersebut terlalu ringan dan tidak sejalan dengan dakwaan yang diajukan.
“Jaksa tidak konsisten dengan dakwaannya sendiri. Ancaman pidana Pasal 338 juncto Pasal 351 ayat (3) KUHP bisa sampai 15 tahun penjara. Tapi kenapa hanya dituntut empat tahun?” tanya Edi.
Sementara itu, advokat Famara lainnya, Gabriel Marung, SH, menilai JPU keliru dalam memilih pasal tuntutan.
“Jaksa seharusnya menuntut pelaku dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, bukan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian. Kesalahan ini membuat hukuman menjadi terlalu ringan,” jelas Gabriel.
Edi memastikan, Famara akan segera melaporkan dugaan pelanggaran etik dan profesionalisme hakim ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial agar kasus ini menjadi perhatian publik.
“Kami tidak ingin kasus ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Keadilan harus ditegakkan bagi almarhumah Irnakulata dan keluarganya,” pungkasnya.***


























